Pengertian “infrastruktur” seringkali disempitkan menjadi sarana-sarana teknologis yang berwujud fisik, seperti jaringan kabel, perangkat keras, dan bangunan-bangunan. Padahal, infrastruktur mengandung pula di dalamnya berbagai hal yang “non-fisik”, termasuk struktur sosial-budaya, cara kerja, dan aspirasi masyarakat tempat infrastruktur itu berada. Sebagaimana dikatakan Borgman (2000) ada 8 dimensi infrastruktur. Beberapa dimensi ini dapat dikaitkan langsung dengan keberadaan perpustakaan digital adalah: • Sebuah infrastruktur tertanam (embeded) di dalam berbagai struktur, pengaturan sosial, dan teknologi lain. Memasang akses Internet di perpustakaan bukan hanya memasang komputer tetapi mengatur pemakaiannya pula dan mengaitkannya dengan teknologi lain (misalnya teknologi pendingin ruangan).
Dari dimensi-dimensi itu jelas terlihat bahwa keputusan sebuah perpustakaan digital dalam mengadopsi teknologi bukanlah keputusan teknis semata. Terlebih-lebih infrastruktur juga ditentukan oleh kebijakan publik atau kebijakan pemerintah[1]. Seperti dikatakan Abramson (2005), pengertian “information infrastructure” menjadi sangat meluas, tidak hanya mencakup kabel, routers dan communciation protocols, tetapi juga berbagai kebijakan pemerintah yang diperlukan untuk mendukung pengembangan ekonomi informasi, kebijakan pendidikan dan lapangan kerja, kebijakan keamanan dan kesejahteraan sosial. Tetapi hal terpenting dalam infrastruktur informasi ini adalah pada konsepsi tentang kepemilikan intelektual dan kebebasan menyampaikan dan menerima ide (idea markets). Setiap produk informasi pada intinya adalah ide. Teknologi akhirnya memerlukan orang yang dapat mengeluarkan ide inovatif kalau kita ingin memiliki informasi yang berkualitas dan inovasi hanya mungkin terjadi jika terdapat keleluasaan mencari dan bertukar ide.
Dalam konteks ini, maka terlihat bahwa persoalan infrastruktur yang dihadapi perpustakaan jauh lebih rumit dibandingkan semata-mata persoalan teknis. Sebagai sebuah institusi sosial-budaya perpustakaan digital seharusnya menjadi lembaga yang terbuka dan menghilangkan kesenjangan digital. Pada saat sama, ketika disadari bahwa teknologi informasi juga memiliki aspek internasionalisasi, dan kalau perpustakaan membuka diri sebagai tempat mengakses Internet, maka perpustakaan umum terikutkan dalam persoalan implikasi globalisasi terhadap masyarakat luas. Dalam artikelnya tentang identitas nasional dan teknologi komunikasi, Poster (1999) mengingatkan bahwa teknologi informasi saat ini jauh lebih sulit “dikendalikan” oleh pemerintah, terutama karena kemudahannya dalam menyebarkan pesan digital secara amat meluas, dalam jumlah besar dan dengan kecepatan yang tinggi. Ini segera menimbulkan problema bagi fungsi-fungsi yang semula melekat di perpustakaan.
Sementara itu, potensi teknologi informasi dan komunikasi sangatlah besar untuk kita abaikan hanya karena kita sulit mengendalikannya. Salah satu manfaat terbesar yang ditawarkan infrastruktur telekomunikasi dan informatika adalah dukungannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang luar biasa pesat saat ini. Tanda-tanda percepatan ini sudah muncul sejak akhir 1990an ketika universitas-universitas terkenal di berbagai negara besar melengkapi diri mereka dengan komputer berkinerja tinggi alias high performance computing (HPC), sementara laboratorium-laboratorium di berbagai pusat penelitian juga mulai menggunakan komputer super yang saling terhubung satu sama lainnya dan berhubungan pula dengan berbagai HPC di universitas. Sepeti yang diceritakan Gold (2007), prasarana jaringan ini tersedia bersamaan dengan saat ketika para peneliti ilmu hayati bergotong-royong meneliti genome. Penggunaan jaringan komputer untuk kolaborasi internasional ini berhasil menelurkan peta genome manusia selengkapnya pada April 2003.
Jaringan dan antar-jaringan yang menghubungkan komputer berkapasitas besar di berbagai belahan dunia ini kemudian berkembang menjadi apa yang dikenal sebagai "grid computing"[2]. Prasarana ini membuka peluang baru dalam memanfaatkan keampuhan teknologi komputer super, sekaligus juga di saat yang sama mengurangi ketergantungan pada satu komputer super sebab arsitekturnya memungkinkan pemakaian yang tersebar alias distributed computation. Teknologi yang sebenarnya sudah lama hadir ini baru sungguh-sungguh diterapkan dalam komunikasi ilmiah dengan kelahiran Globus Toolkit di tahun 2002 sebagai bagian dari alat kerjasama sebuah komunitas global yang melibatkan institusi-institusi besar pengguna komputer-komputer super untuk riset sains dan teknologi, seperti BIRN (Biomedical Informatics Research Network,
http://www.nbirn.net/ ), National Virtual Observatory (
http://www.us-vo.org/ ), Sloan Digital Sky Survey (
http://www.sdss.org/ ), Particle Physics Data Grid (
http://www.ppdg.net/ ); dan GEON (Geosciences Network,
http://www.geongrid.org /).
Dari perkembangan dalam teknologi jaringan dan komputer super yang dimanfaatkan untuk kepentingan kolaborasi ilmiah inilah kemudian muncul pemikiran tentang cyberinfrastructure dan e-science. Istilah cyberinfrastructure lebih populer di Amerika Serikat, sementara e-science lebih populer di Inggris dan Eropa. Perhatian yang semula lebih banyak diberikan kepada aspek mesin dan teknik, kini mulai diimbangi dengan perhatian terhadap pengelolaan informasi, komunikasi data, dan simpan dan temukembali data. Konsep dan praktik perpustakaan digital pun segera nyangkut dengan mudah di dalamnya.
Perkembangan cyberinfrastructure akhirnya benar-benar semakin mengarah ke pengaturan teknologi yang lebih luas daripada sekadar infrastruktur fisik ketika National Science Foundation di Amerika Serikat mengadakan berbagai lokakarya tentang perpustakaan digital, dan salah satu dokumen hasil lokakarya itu menyebut istilah cyberinfrastructure untuk merujuk ke sistem yang meluas dan terintegrasi, terdiri dari perangkat keras, jaringan, perangkat lunak dan middleware yang dirancang untuk mendukung serangkaian kegiatan mengambil, menyimpan, mengelola, menggabungkan, menambang, dan memvisualisasikan data melalui Internet.
Sementara itu, ketika konsep cyberinfrastructure baru mulai dipikirkan dalam kerangka grid computing, para ahli di beberapa negara juga sedang giat melakukan kajian dan mencari solusi untuk persoalan yang amat pelik, yaitu preservasi digital . Arus deras produksi data dalam bentuk digital saat ini sudah sangat luar biasa, dan ini langsung berdampak pada kemampuan sistem melestarikan data tersebut. Khusus di bidang ilmu pengetahuan, fenomena ‘ledakan informasi’ ini sangatlah mengkuatirkan. Beberapa negara dan lembaga internasional segera mengambil ancang-ancang yang serius untuk menanganinya. Misalnya, Perpustakaan Nasional Australia di tahun 1990an memulai program Preserving Access to Digital Information alias PADI. Lalu UNESCO, menerbitkan Charter on the Preservation of Digital Heritage pada tahun 2003, dan JISC di Inggris menerbitkan E-Science Curation Report pada tahun yang sama Di Amerika Serikat, Library of Congress dan Arsip Nasional negara itu memulai program pengembangan infrastruktur nasional untuk preservasi digital pada awal tahun 2000an.
Selain konsep preservasi dalam arti sempit sebagai upaya menjaga kelestarian dan keamanan data digital agar dapat digunakan kembali, juga muncul konsep kurasi (curation) yang lebih luas lagi mencakup keseluruhan kegiatan pengarsipan digital. Dalam konteks ini maka preservasi digital adalah elemen dari pengarsipan digital dalam arti yang luas. Kegiatan kurasi digital itu sendiri adalah kegiatan yang terfokus pada upaya memelihara dan memberi nilai tambah ke sekumpulan informasi digital yang dapat dipercaya (trusted), agar dapat dipakai pada masa kini maupun masa mendatang. Upaya-upaya preservasi, kurasi, dan pengarsipan digital ini menimbulkan melahirkan berbagai program kerja yang menekankan perlunya pemakaian sumberdaya secara bersama (resource sharing). Sebab itu, konsep interoperability pun menjadi elemen penting. Model pengarsipan digital pun lahir, misalnya dalam bentuk OAIS (Open Archival Information System), berbarengan dengan berbagai inisiatif tentang metadata.
Dari segi pengelolaan data, preservasi dan pengarsipan digital juga dimungkinkan oleh adanya kesepakatan tentang model data yang disebut RDF (Resource Description Format). Model data RDF memungkinkan pengelolaan data secara lebih fleksibel selain juga sekaligus memberi sumbangan besar bagi pembentukan apa yang disebut Semantic Web. Kombinasi RDF dan Semantic Web pada gilirannya menimbulkan harapan dan motivasi untuk membuat jaringan kerjasama berbantuan komputer yang mempermudah ilmuwan bekerja sama lintas bidang, misalnya antara ilmuwan geologi dan ilmuwan kimia, untuk menciptakan solusi-solusi cerdas di mengatasi kerusakan lingkungan oleh limbah industri. Sudah barang tentu, walaupun Semantic Web sangat besar berperan dalam komunikasi antar-mesin, tetap diperlukan campur tangan manusia, misalnya dalam bentuk pemeliharaan metadata, pembuatan cross walk dan application profiles, dan pengembangan kebijakan yang dinamis. Dari pembahasan di atas maka dapat kiranya kita lihat betapa pengertian kata ‘infrastruktur digital’ sesungguhnya bukan hanya berkaitan dengan mesin komputer dan jaringan global, tetapi juga semangat kerja sama, sarana preservasi dan kurasi yang memadai, dan sistem pengelolaan data yang memudahkan pertukaran dan pemakaian bersama lintas bidang.
Matrik SWOT (PERPUSTAKAAN UMUM)
|
|
|
STRENGHT (S)
|
|
WEAKNESS (W)
|
|
FAKTOR INTERNAL
|
1
|
layanan internet
|
1
|
Sumber daya manusia
|
|
|
2
|
lokasi strategis
|
2
|
Positioning perpustakaan
|
|
|
|
|
3
|
Keterbatasan sumber informasi elektronis (karya dosen)
|
|
|
|
|
4
|
Sistem manajemen
|
|
|
|
|
5
|
Infrastruktur TI (dana)
|
|
FAKTOR EKSTERNAL
|
|
|
|
|
|
OPPORTUNITIES (O)
|
|
STRATEGI SO
|
|
STRATEGI WO
|
1
2
3
|
Market share yang sudah tersegmentasi.
Dukungan policy (dana mhs) dari pihak universitas
Beragamnya program studi di UNS.
|
|
Atas dukungan pihak universitas, UPT perpustakaan perlu memprioritaskan Strategi pemanfaatan layanan internet
|
1
2
|
Atas dukungan dari universitas fokus perpustakaan ditujukan pada pemenuhan kebutuhan inf berbasis TI yang beragam, yang ditujukan untuk semuasegmen, yaitu dengan mengakomodasi kebutuhan koleksi melalui digital library
Dana infrastruktur TI dapat disubsitusikan dengan biaya penyediaan informasi cetak.
|
|
THREATS (T)
|
|
STRATEGI ST
|
|
STRATEGI WT
|
1
2
3
|
Maraknya internet/warnet
Masalah aksesibilitas digilib
Perbedaan persepsi tentang policy open content informasi pada digital library
|
|
Bekerjasama dengan pihak UPT Puskom untuk mengadakan pelatihan di bidang IT dan pengembangan sistem informasi berbasis web.
|
|
Free layanan internet
|
B. Rumusan Masalah
Kesiapan sumber daya manusia dan penunjang pokok lainnya pada perpustakaan belum bisa mengambil semua manfaat teknologi yang semakin lama semakin berkembang ini. Maka dari itu dirasa perlu menyusun rencana pengembangan yang diarahkan pada upaya diseminasi informasi produk lokal maupun luar dengan meningkatkan sarana dan prasarana, tak lupa yang terpenting adalah peningkatan sumber daya manusia (pustakawan).
________________________________________
[1] Sebenarnya, semua infrastruktur teknologi informasi adalah infrastruktur informasi, tetapi dalam dokumen pemerintahan “infrastruktur informasi” biasanya diartikan secara lebih sempit. Biasanya hanya dikaitkan dengan komputer dan jaringan komunikasi. Infrastruktur informasi juga seringkali diartikan sebagai kerangka teknis, sehingga dikaitkan dengan aspek arsitektural (struktur dan disain).
[2] Kata grid sendiri dalam bahasa Inggris sebenarnya juga berarti network atau web. Konsep asli grid computing sebagai sebuah kegiatan pemakaian bersama terhadap sumberdaya komputer di dalam jaringan yang heterogen dan tidak-terpusat, sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 1970an, sebelum masa Internet.